Thursday, July 01, 2004

angkot di bandung..

still at bandung, 17 september 2003
08.30 WIB
Setelah makan bubur ayam
Kemudian kami bertiga jalan ke perempatan dekat Stasiun Kebun Kawung. Cari angkot yang jurusan Lembang. Hijau katanya. Aku sudah lupa. Lima tahun lalu aku sempat jadi angkot mania di Bandung ini selama sebulan. Tapi sekarang jelas lupa, harus naik apa ke Gegerkalong. Padahal dulu satu minggu aku indekos di Mess Telkom di Geger kalong Hilir.

Then, angkotnya banyak banget. Dan sama semua. Yang namanya angkot warna hijau juga banyak banget. Jadi selain melototin warnanya, aku juga melototin tulisannya. Mana gak bawa kacamata. Memang sejak dulu aku bete dengan angkot Bandung ini. Di Surabaya yang angkotnya full colour gitu aja kita masih suka bingung. Apalagi ini yang warnanya sama. Cicaheum-Dago, Dago-Kebon Klapa, Dago-Stasiun Hall, Stasion Hall-Lembang.. Hijau semua!!!

Akhirnya ketemu juga. Stasion Hall-Lembang. Cuman, sumprit aku lupa harus turun di mana. Satu-satunya pegangan adalah peta jalan Bandung yang aku print dan download dari website Manajemen Qolbu. Diliatin sama orang seangkot. Cuek aja. Yang penting sampai. Tapi aku sms juga temenku yang di Bandung. Siapa tahu ada pedoman khusus untuk sampai ke DT.

Technical Meeting jam sembilan, jam delapan tigapuluh masih di perempatan Stasiun Hall. Tapi aku percaya angkot ini akan mengantarkan kami tepat pada waktunya. Para supir angkot Bandung pasti bikin stress penumpangnya, apalagi yang dari luar kota seperti kami ini. Nyetirnya, ampun. Bikin mual. Ngepot sana ngepot sini. Cepet sampai memang. Tapi kalo habis naik kereta api dan makan begini, yah, nggak janji kalo gak mual berat.

Satu kelebihan angkot di sini. Nggak bakalan di tumpuk sampai kaya dendeng seperti di Surabaya. Angkotnya lebih luas, lebih lebar, dan penumpang diisi pas dengan kapasitasnya. Di Surabaya? Dijamin kalo pantat dapat secuil tempat duduk aja sudah syukur alhamdulillah. Pantas orang Surabaya suka ngumpat-ngumpat. Karena masih ditambah dengan udara yang panas di Surabaya, dijejal-jejal pula.
Di Bandung, udaranya nyaman, tidak dihembusi bau keringat teman sejawat di dalam angkot. Ramah-ramah pula orangnya. Tapi cuma satu, nyetirnya itu lo. Dan sepanjang perjalanan, tidak ada satu orang polisi pun di jalan. Cuek bebek. Padahal masih manis-manis cara nyetir para supir angkot di Surabaya, polisi sudah bertebaran di mana-mana. Suamiku berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan mau nyetir mobil sendiri di Bandung. Pasti bakalan stress berat, katanya.

Perempatan pertama, belok ke Jalan Merdeka, sepertinya. Sudah lupa jalan apa. Yang jelas terus lurus masuk Jalan Setiabudi dan terus sampai di daerah Gegerkalong.
Perempatan ini yang asik. Begitu angkot berhenti di depan lampu merah, segerombolan anak pengamen mendekati pintu penumpang. Tiga orang sih. Satu bawa kendang kecil yang diikatkan di pinggangnya, satu bawa kerincingan (apa namanya, lupa). Dan satu lagi, of course, gitar akustik standar. Satu dua tiga. Lagu Sakura yang dipopulerkan Fariz berkumandang. Masyaallah, enak banget. Betah ndengerinnya. Nada-nadanya pas, tidak ada yang sumbang. Ketukannya tepat, ritmenya juga pas. Suaranya, boleh juga. Nggak fals, nggak sember. Gilig. Means suaranya wungkul, penuh, dan bulat. Kaya sudah pernah latihan vokal aja.

Lagunya keren, bawainnya pas. Nggak rugi kita kasih uang sama mereka. Lima ratus pun aku masih mau. Coba di Surabaya. Kencring, kencring. Gak jelas nyanyi apa. Suara bergumam, alat musik gak jelas. Okelah ada yang dibina seperti musik alang-alang itu. Tapi sehari-harinya, kita lewat di mana saja, di jalanan yang kita lihat adalah anak seperti itu. Kumal, tidak terurus, dan berusaha cari uang dengan jalan seadanya. Ngamen, yang penting gak ngemis. Mungkin begitu prinsipnya.

Tapi mari kita bandingkan. Di Bandung, mengamen menjadi suatu tantangan yang mengasikkan. Mereka berusaha untuk tidak sekedar menyanyi, dan mendapatkan uang. Tapi adalah bagaimana mereka memuaskan pendengarnya. Bahwa mengamen itu menjadi suatu seni. Puas orang yang memberi mereka uang. Perjalanan yang terhenti di lampu merah pun tidak menjadi membosankan dengan kehadiran mereka. Biarpun di angkot yang notabene angkutan murah meriah kita masih bisa mendapatkan hiburan ’sekelas cafe’.

Di Surabaya, begitu berhenti di perempatan, serbuan datang. Pengamen dengan kencrang-kencring gak jelas, penjual gambar, penjual krupuk, penjual koran. So many people. Kemudian, setelah kita memberi uang pada pengamen, apakah kita akan membeli krupuk? Bila kita membeli krupuk, apakah kita akan membeli koran? Misalnya kebutuhan kita adalah koran hari ini, apakah kita akan memberi uang pada si pengamen kemudian? Jarang sekali terjadi pemberian seperti itu. Otomatis, tangan kita akan mengatakan tidak pada yang lain ketika satu pilihan sudah terambil. Jadi, para pengamen Surabaya tidak hanya bersaing antar pengamen, tapi juga bersaing dengan pedagang asongan yang lain. Di samping itu, nilai jual pengamen disini, akan lebih rendah dari pada pedagang asongan yang lain. Karena dengan memberi uang ke pedagang asongan kita mendapat barang, tetapi memberi uang ke pengamen kita mendapatkan gumaman tidak jelas, dan keselamatan mobil bila tidak digores. Mungkin yang terakhir kebanyakan menjadi pilihan penumpang atau pengendara di Surabaya.

Selama di Bandung, angkot yang aku tumpangi selalu didatangi musik. Lagu-lagunya enak, ramai, dan yang jelas selalu membuat kita dengan suka hati memberi. Jadi betah naik angkot. Sampai-sampai sudah sampai tujuan jadi kelewatan.

1 Comments:

Blogger adiwenatb said...

HIMATEKTRO proudly present
Seminar Jurnalistik "SpeakUpWithBLOG" on 17 Des 06 @08.00-17.00 w/ Raditya Dika (kambingjantan),Jaf (penyiar s'pore),Romadhon (cangkrukan community).Ticket Rp.50rb expired on 16 nop,Rp.70rb 17 nop til sold out,ticket box sekretariat HIMATEKTRO-ITS.
Maju terus BLOGGER Indonesia!!cp:08563022805

November 10, 2006 at 5:48:00 PM GMT+7  

Post a Comment

<< Home