Thursday, July 01, 2004

JUMAT'AN ALA DT

Still a journey about Daarut Tauhid
17 September 2003, Bandung
11.30 WIB

Karena itu hari Jumat, technical meeting berlangsung cukup cepat. Efisien, dan tidak bertele-tele. Kecuali pada sambutan-sambutannya, of course. Sayang sekali tidak bisa berjumpa dengan Aa’ Gym karena beliau sedang ada acara mendadak di Jakarta. Sedianya beliau yang membuka dan memberikan sambutan di acara itu, tapi karena mendadak pergi, jadilah aku tidak bisa berjumpa dengan Aa Gym. Sedih. Sudah jauh-jauh Aa tidak ada....

Pukul setengah dua belas sudah bersiap untuk Jumatan. Para santri pria sudah mulai menghilang satu demi satu. Aku dan sahabatku berjalan ke pelataran depan workshop yang tadinya digunakan untuk parkir dan pedagang kaki lima seperti buku, jilbab, asesoris muslimah, dan of course, makanan. Sekedar cari teh botol Sosro –catet, ya, Sosro! Bukan lainnya – kami duduk di situ.

Pelataran yang tadinya kosong di tengah, sekarang sudah dipenuhi dengan tikar-tikar. Oya, pelataran ini ’semi indoor’. Maksudnya, di atas pelataran ini ada terop yang menaungi tempat ini dari panas dan hujan. Cukup nyaman. Tikar-tikar itu juga dipasang di depan workshop, dan sedikit di belakang kopontren.

Ada beberapa pesawat televisi yang sudah disiapkan. Satu di pelataran PKl tadi, dan satu lagi di dekat workshop dan kopontren. Aku dan sahabatku - suamiku sudah pergi ke masjid DT bersiap-siap mau jumatan - sempat bertanya-tanya. Buat apa televisi itu? Dan apakah pelataran ini akan dipakai jumatan? Kenapa jauh sekali dari masijd? Tapi kami dengan cueknya tetap duduk di bangku kaki lima di pinggiran pelataran itu. Sebab kami lihat para ibu penjual kaki lima itu juga tidak beranjak dari tempatnya, tidak ada tanda-tanda ’kukut’ atau mau ikut jumatan.

Beberapa menit kemudian, satu persatu orang mulai datang. Sholat Tahiyatul Masjid, lalu duduk. Televisi mulai dinyalakan. Tapi para ibu PKl tetap aja disana. Jadi kami juga tetap di sana.
Setelah penuh, khotbah dimulai. Televisi itu ternyata berfungsi sebagai ganti imam. Walau begitu, mereka tetap khusyuk. Benar-benar memanfaatkan teknologi. Sebelum jumatan dimulai, khothib mengingatkan untuk mematikan semua handphone dan alat komunikasi lainnya. Dan itu benar-benar ditaati. Tapi yang terjadi, malah handphoneku yang bunyi!!

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

AA Gym sosok teladan konsisten dan terus menerus memandang positive kepada segala hal.

Teguh dalam pendirian. Pernah dengar lihat, pelajari, tiru modifikasi dan lakukan.

Jum'atan paling berkesan adalah ketika kita masih berumur belasan tahun. ada lagi waktu di mesjid kecil di sebuah desa di sukabumi selatan dekat pelabuhan ratu. mereka pakai bahasa sunda. Aromanya khas, keikhlasannya khas, kekhusuan jamaahnya khas, sederhana. jamaah mengalir tertib dan menunaikan kewajibannya tanpa celoteh hanya gumam pujian serta lantunan ayat Al Qur'an bergaung scatter sahut menyahut.

Yang membedakan sorot mata jamaah, teduh. Tidak menyelidik apalagi menelanjangi.

Kalau di kota mesjid bagus, tapi jamaah nggak kenal satu dengan lainnya. Tiap habis shlat sunat tahyatul masjid, salam. jamah terpejam. tenggelam dalam urusan sendiri sendiri. seolah mudah mudahan aku masuk surga. peduli amat dengan tetangga.

tapi dikampung mesjid kecil. sorot mata memandang dan berkata aku tahu siapa ade, bersahabat sorot mata menyapa. Itulah jum'atan di kampong didesa yang selalu aku rindukan.

September 7, 2006 at 11:30:00 AM GMT+7  

Post a Comment

<< Home