Monday, April 25, 2005

Bercermin pada kasus Hughes...

Dua mingguan ini di televisi penuh dengan pemberitaan kasus perceraian Desak Made Hughesia Dewi atau Dewi Hughes dengan Achmad Hestiavin Tachtiar atau Avin.
Mau tak mau pemirsa jadi kaget melihat tuturan demi tuturan yang begitu "jujur" dari keduanya. Satu persatu rahasia rumah tangga disingkap dari soal uang sampai ke urusan ranjang. Dalam minggu pertama Hughes membeberkan segala keburukan Avin, dengan perlakuannya yang dikatakan mengintimidasi, tidak pernah memberi nafkah, pelecehan seksual, dan tidak memberikan kesempatan untuk beribadah, dan lain-lain. Minggu kemarin Avin ganti membeberkan bukti-bukti penyangkalan atas tuduhan Hughes.
Wow. Semua ini membuatku berpikir kembali. Sebenarnya apa sih yang dicari seseorang dalam hidup berumah tangga? Cinta yang tadinya menggebu-gebu menyatukan hasrat dan keinginan dua orang yang berbeda, sekarang tiba-tiba saja tinggal keping-keping yang menyedihkan. Lalu apa? Kemana perginya semua kenangan indah yang pernah dirangkaikan? Ke mana larinya segala rasa dan kata-kata yang pernah terucap ketika cinta masih bersemi?

Satu hal yang membuatku semakin sedih. Ketika Avin memberikan kepada pers catatan harian Hughes, rasanya rumah tangga seperti tidak lagi ada artinya lagi.
Sesuatu yang begitu rahasia, hanya antara Hughes dan penanya, tulisan-tulisannya, dibeberkan begitu nyata kepada semua orang. Di kertas yang ditunjukkan Avin itu, terlihat betapa puitis tulisan Hughes tentang perasaannya. Dan itu terlihat di semua coretannya, pengandaiannya untuk suaminya, untuk perasaannya. Sayangnya sepertinya Avin mengartikannya secara harfiah.
Membuatku teringat akan tulisan-tulisan pribadiku sendiri. Kehidupan ini adalah suatu proses, di mana perasaan itu tumbuh dan berkembang dan menjadi dewasa. Tapi ada kalanya perasaan itu pasang dan surut, timbul dan tenggelam. Ketika ada kemarahan yang memuncak, mungkin pena akan mengguratkan kata-kata pedas dan kejam, tetapi setelah sekian lembar, sekian kata, kemarahan itu tidak lagi tersirat dalam rasa yang sakit, tapi terurai dalam kata-kata manis, memuja, memaafkan, memohonkan ampun kepada Tuhan, merayu dalam metafora dan eufimisme yang sakral.
Jadi apalah artinya ketika tulisan itu dibaca orang lain? Itu bisa berarti sejuta makna. Ada makna yang tersirat, yang mungkin hanya kita yang memahami, karena memang tulisan itu hanya dibuat untuk kita, hati kita, hanya sebagai pelepas rasa.
Betapa rasa Hughes ketika menuliskan itu semua, dalam kondisi tersakiti dia masih bisa memohonkan ampun untuk suaminya lewat kata-kata indah...
Ketika akhirnya sang suami tidak bisa menafsirkan dengan sebenar-benarnya perasaan sang istri dari tulisan-tulisannya.......

Mungkin aku salah, tetapi yang kurasakan dalam sebuah jalinan keluarga adalah rasa kasih sayang, saling percaya, saling menguatkan, dan memaafkan. Sedalam apapun kesalahan, adalah keputusan kita untuk mengarungi hidup bersama seseorang yang kita pilih sendiri, yang kita yakini akan dapat membimbing kita melalui hidup. Apapun yang terjadi nanti, Insyaallah, akan menjadi sebuah kenangan yang seharusnya indah. Adanya kekesalan hati, kebencian sesaat, kemarahan, karena itu semua adalah proses yang harus dilalui untuk sebuah pengertian dan kedewasaan. Mungkin ada marah yang hampir tak tertahankan, tetapi ketika semuanya
menjadi reda, yang tersisa adalah maaf, penyesalan dan rasa sayang. Bagaimana kita dapat mencapai reda itu adalah dengan introspeksi kembali, apakah kita sudah sedemikian sempurnanya untuk memojokkan sang kekasih dalam suatu kesalahan, yang mungkin berawal dari diri kita sendiri, yang mungkin kemarahan itu justru bersumber dari kesalahan kita. Ketika itu kita harus terus mengingat kembali rasa sayang yang pernah ada, dulu, atau mungkin kemarin, dan tidak berlarut-larut berkubang dalam rasa marah dan kecewa dalam diri sendiri.....

Bercermin pada kasus Hughes, alangkah berharganya apa yang kita miliki sekarang dengan orang terdekat kita. Rasa saling percaya, nyaman, kekuatan, saling membutuhkan, apakah semua itu harus berlalu karena ketidakmampuan kita meniti hidup dengan sabar? Aku juga masih belajar. Seperti ketika aku pertama kali turun rafting, ketika itu kusadari betapa berartinya sang kekasih di rumah yang menunggu kedatanganku pulang. Belum tentu aku bisa datang kembali selamat, karena kuasa Allah yang begitu besarnya, dalam gelombang sungai yang begitu dahsyatnya, yang kita miliki hanya rasa percaya bahwa kita bisa, kita mampu, kita yakin akan semua proses kehidupan. Seperti jeram-jeram yang siap menenggelamkan aku dan membalikkan perahu kapan saja, hanya apabila kita tidak yakin, tidak percaya.
Seperti ketika aku melihat paparan gelombang air tsunami menghancurkan rumah saudara-saudara kita di ujung sana, dari yang hampir tak punya menjadi tak punya apa-apa. Ketika itu aku sadari bahwa apa yang kukira menyiksaku di rumah, di lingkunganku, dalam kehidupanku, adalah hanya sedikit dari kekuasaan Allah yang Maha Besar. Yang bisa membalikkan cinta dalam sekejab menjadi benci dan siksaan.....

Bukannya kemudian berbahagia di atas kepedihan orang lain, tapi melihat semua itu, melihat air mata-air mata yang tidak berkesudahan, adalah mungkin waktunya untuk bersyukur lebih dalam lagi atas apa yang kita miliki sekarang. Menjaganya, merawatnya, tanpa buruk sangka, dengan hati bijak, karena mungkin ini hanya terjadi saat ini saja. Entah esok hari...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home