Thursday, July 22, 2004

beteeeeeeeeeeeeeeeeeeeee!!

love actually
has been done and has been built
till now from the past
because of this love
is flow in my blood

in my breath
every single breath
i love you
even when i hate you
even when we broken
because no one would able to deny
i love you

no matter what
no matter how much i hate you
like now

-wr-

lingkaran hati

scream but really scared!!

gila memang kalo lagi suntuk.
gak ada yang bener.
kehidupan mulai dan berakhir berputar pada satu poros : kenyamanan
tapi bagaimana kenyamanan dapat diciptakan tanpa uang?
uang menjadi satu faktor penting tapi bukan yang terpenting
gilanya lagi,
uang tetap menjadi pilihan utama dalam setiap langkah

manusia diadakan untuk memilih
memilih tapi tidak bisa bergerak
karena nanti begitu berjalan hidup
dari pilihan yang  sudah diambil
tiada sesal
tidak boleh menyesal
karena ada disini
sekarang
karena pilihan
yang dipilih sendiri
dulu

rasain lo!!

Thursday, July 01, 2004

iwan fals..

18 Desember 2003
LIVING ROOM, 10.30 PM.

Malam ini aku bengong sendirian di depan pesawat televisi. Anak dan suami tercinta sudah tidur, dan aku belum ngantuk. Aku pilih-pilih channel, selalu kembalinya ke TransTV. Favorit memang, acaranya bagus-bagus.

Ulang Tahun TransTV rupanya. Aku coba lihat acaranya yang cukup rame. Ada Alam, eh, ternyata Sabu-sabu itu maksudnya Sarapan Bubur. Masyaallah, bikin orang bingung aja. Setelah ini apalagi.

Muncul satu sosok di tengah layar. Intronya kayak nggak asing. Kucermati lagi, wow, Iwan Fals. Cakep juga. Lagu yang dinyanyikannya Aku Bukan Pilihan, my favorite. Diiringin Andi Rianto dan pemain harpa, lupa namanya. Keren. Duh, pengen ikut teriak-teriak dan ikut nonton langsung di sana. Tapi ini udah malam, masa teriak-teriak.

Lagunya bagus banget. So so so touching. Cuman dengan dinyanyikan akustik gitu jadi agak berkurang ketepatannya. Mungkin lagi in lagu dinyanyikan begitu. Kemudian muncul Farhan dan Eko Patrio di belakang panggung. Ngerumpi, lucu banget, sambil direcokin Mak-nya Oneng dan Bajuri. Wah, keren banget. Pokoknya paling keren, ya Bajuri. Hehe.

Kukira Iwan sudah selesai nyanyinya. Tapi kata Farhan dan Eko, setelah ini kolaborasi Iwan dan rekan-rekannya. Astaga, ternyata bagus banget. Adam Sheila on 7, Piyu Padi, Tohpati – catet : TOHPATI!! – dan seorang pemain perkusi. Semuanya bawa gitar, termasuk Iwan Fals. Dan mereka nyanyi Bento, lagu Iwan yang dulu ngetop banget.

Rasanya aku terlempar kembali ke masa lalu. Di saat SMP – SMA saat masih begitu menggilai Iwan Fals. Saat masih seru-serunya nge-band (termasuk bareng suamiku tercinta ini ;P). Saat latihan marching band, saat ribut jadi pengurus OSIS, semuanya seperti terbayang lagi saat mendengar lagu ini. Ternyata begitu touchingnya suara Iwan, lagu Iwan Fals, dengan masa-masa sekolah dulu. Memang lagi jamannya.

Dan serasa aku iri dengan mereka. Dengan Adam, Piyu. Aku yakin, Adam, dan Piyu adalah sama seperti aku dulu. Ngeband, mengidolakan Iwan Fals. Dan sekarang, mereka sepanggung. Bisa kubayangkan rasanya, euforianya waktu pertama bisa kenal, latihannya, gembiranya bisa nyanyi bareng idolanya. Mengiringi Iwan Fals dengan petikan gitarnya.

Dulu pasti rasanya jauh, dan sekarang adalah rekan. Dan mimpi-mimpi mereka terwujud. Karena mereka berusaha, karena jalannya begitu. Karena mereka menemukan link-nya yang harus ditemukan. Dan mereka pasti bahagia. Tepuk tangan Iwan Fals untuk Piyu, untuk Adam, untuk Tohpati. Seperti ketika Titiek Puspa bertepuk tangan untuk Inul. Bayangkan bahagianya Inul, bisa bersama satu panggung dengan idolanya. Betapa bahaginya ketika melihat idolanya kini mengidolakan dirinya. Begitu dekat. Sebuah impian yang dulu rasanya begitu tidak mungkin, tapi bisa jadi nyata.

Allah SWT memang Maha Besar. Sanggup membalikkan sesuatu dalam waktu singkat. Apa yang tidak mungkin jadi mungkin, dan of course karena kita berusaha. Karena ikhtiar. Mungkin karena kurang memaksimalkan ikhtiar, seperti kata Aa Gym, jadinya ya jalan kita seperti ini. Bukannya menyesal, Cuma seandainya dulu, niat memaksimalkan ikhtiar dalam nge-band, serius berkarya dan selalu rajin latihan walau sudah kuliah, bukan tidak mungkin link dan jalannya sama seperti Padi, seperti Tic Band, seperti Inul.
Ya kan? Atau dulu seriuslah berkuliah di jurusan musik, berkecimpung dengan ikhtiar penuh di bidang entertainment, bukan tidak mungkin jalannya tidak begini. Singkatnya, apa yang kita inginkan seharusnya dijalankan dengan penuh, tidak setengah-setengah, tidak ragu-ragu. Apapun diikhtiarkan dengan semaksimal mungkin, Insyaallah, Tuhan merestui.

Malam semakin larut. Aku tidak menyesali jalan hidupku, non, tidak. C’est la vie. Sudah semestinya begini. Setelah ini saja, insyaallah, aku ingin memaksimalkan ikhtiarku. Walau itu cuma sedang mengganti pipisnya Fia, atau sedang mengajari Fia mewarnai, atau ketika sedang membuat mi rebus. Kalau tercipta jalannya untuk menjadi sukses adalah disusun dari proses yang sangat beragam, karena ikhtiarnya untuk masing-masing penggalan prosesnya. Seperti buku, atau novel, di tiap-tiap chapternya ada konflik, klimaks, antiklimaks, dan endingnya. Walau nantinya pasti nyambung ke chapter berikutnya. Di tiap chapternya itu setiap konflik harus diselesaikan. Di endingnya itu harus berakhir tanpa penyesalan, karena sudah segala upaya dilakukan untuk menyelesaikan. Sudah berusaha semaksimal mungkin. Tidak nggantung.

Bukan tidak mungkin besok berubah. Ada kejadian yang membuka chapter baru, yang bikin konflik baru, dan harus diikhtiarkan ending baru. Bukan tidak mungkin kejadian itu yang membuat hidup ini naik satu step.

Jangan meremehkan setiap bagian dari hidup. Ini adalah proses. Proses yang harus dijalani. Dan chapter yang harus diselesaikan.
Dan aku sedang membuka chapter baru. I love it.

Catetan satu tahuh yang lalu, tergelitik buat dipublish...

FENOMENA BARU : INUL


Belakangan ini orang selalu ramai membicarakan tentang Inul. Selalu Inul, Inul, dan Inul. Mungkin Inul sendiri sudah kebal dengan segala omongan orang tentang dirinya, karena hampir selalu ada di setiap media, baik cetak ataupun televisi.
Inul, yang tadinya hanya seorang penyanyi pinggiran, dari desa ke desa, dari lingkungan kecil ke lingkungan kecil satunya, kini tiba-tiba menjadi seorang ‘ratu’ dalam setiap tayangan di stasiun teve swasta kita, terutama tayangan dangdut. Satu lagi jangan lupa, tayangan gosip. Sebenarnya ditilik dari sepak terjangnya, kita patut menyatakan jempol dua dan bertepuk tangan, salut atas keberhasilannya menembus dunia pertelevisian swasta yang terkenal sulit dan selektif. Bahkan Inul berhasil duduk di kursi di mana tidak semua selebritis diusung kesana untuk dikupas tuntas jerohannya, di sebuah stasiun televisi swasta. Itu Inul lo, yang dulu Cuma nyanyi di sunatannya anak pak Lurah, mungkin begitu kata orang-orang yang tahu dia.
Itulah, sebenarnya, tidak semua orang tahu seperti apa sih Inul sebenarnya. Semua hanya meributkan soal goyangnya yang ngebor itu, yang katanya mampu merontokkan hati dan iman para pria. Semua pria bisa tergoda dan akan menjadi senang bila melihat goyangan Inul, semua pria akan ingin bergoyang bila mengawasi Inul ber-ngebor ria di atsa panggung. Itu kata para pria yang sempat ditanya langsung untuk sebuah liputan tentang Inul di sebuah stasiun teve swasta.
Katakanlah, Inul melakukan differensiasi. Membedakan dirinya dari penyanyi-penyanyi yang sudah ada, terutama penyanyi dangdut. Apakah itu salah? Tidak, tentunya, menurut segi bisnis. Menurut agama, jelas-jelas Inul melanggar norma etika, agama dan susila karena terlalu vulgar menampakkan bagian tubuhnya yang semestinya termasuk bagian yang harus ditutupi. Dengan bergoyang pula. Lalu menurut seni, sah-sah saja Inul melakukan goyangan yang berbeda, karena adalah hak setiap seniman untuk mengembangkan bakatnya menurut kemampuannya masing-masing.
Lalu timbul ribut-ribut, pro dan kontra, boleh tidaknya Inul berlaku demikian, karena dianggap dapat memancing timbulnya hawa nafsu para pria. Dan akan semakin buruklah kondisi moral bangsa ini, karena akan banyak terjadi perkosaan, perampokan, pelecehan, atau yang paling sadis, pembunuhan. Coba kita telaah sekali lagi. Bukankah sebelum Inul muncul, telah banyak terjadi hal-hal seperti itu? Lalu kenapa ketika Inul hadir, semua seolah-olah menuduhnya akan memperburuk kondisi mental bobrok itu? Saya yakin bahwa di lubuk hati Inul tidak pernah terlintas sekalipun bahwa ia akan ‘membantu’ semakin lestarinya hal-hal buruk itu. Yang seharusnya dilihat adalah, bahwa bangsa kita memang sudah menyedihkan kondisi moralnya saat ini. Jangan mencari kambing hitam. Inul hanya berseni.
Lalu kalau begitu, apakah perilaku Inul tersebut boleh dibenarkan? Dia hanya mencari uang. Dengan berlaku begitu, Inul mendapatkan banyak tawaran manggung. Yang tadinya hanya artis Jawa Timur, tiba-tiba menjadi artis nasional. Uang mengalir semakin lancar, keadaan keluarga semakin makmur. Mungkin memang, alangkah baiknya kalau Inul dapat mencari nafkahnya, mengalirkan uang ke dalam kantungnya tanpa menyentuh dan mengusik batas-batas nilai agama dan susila. Tanpa harus membuat mata panas, terutama mata para ibu yang suami dan anak-anaknya kesengsem berat dengan goyangannya. Yang tidak suka, ganti saja channel tevenya. Yang sebel lihat goyangannya, jangan beli VCD-nya. Lihat apa yang kita bicarakan. Mereka bisa memilih kan? Karenanya orang-orang yang mampu, yang bisa menonton siaran teve swasta, bisa memilih tayangan yang lain. Bisa menyetel DVD atau VCD yang lain tanpa harus mengganggu tayangan tentang Inul. Coba lihat ke bawah, masyarakat yang hidupnya pas-pasan. Terhimpit oleh beratnya mencari uang untuk makan besok pagi, bayar ongkos angkutan kota anaknya ke sekolah, modal untuk dagang besok, serta tagihan-tagihan kredit lainnya.
Bagi mereka, Inul adalah hiburan. Bisa menyegarkan dan bisa menggairahkan hidup mereka yang begitu beratnya. Tidur di atas becaknya siang ini, tapi malamnya bisa nunut nonton goyangannya Inul di kios tetangga yang berjualan VCD. Hiburan yang murah meriah kan? Mau nonton film di Galaxy Mall jelas tidak mungkin. Mau jalan-jalan ke Tunjungan Plasa juga lebih tidak mungkin karena tidak akan ada waktu lagi untuk mencari uang. Mau apa lagi? Ada Inul. Nonton Inul di TV juga masih lumayan, rame-rame dengan tetangga satu gang nonton tayangan satu setengah jam bersama Inul. Itulah. Mereka tidak punya banyak pilihan. Mereka tidak punya banyak uang untuk memilih yang lain.Kalau mereka punya uang, mereka bisa memilih untuk dugem di Colors daripada nonton Inul.

JUMAT'AN ALA DT

Still a journey about Daarut Tauhid
17 September 2003, Bandung
11.30 WIB

Karena itu hari Jumat, technical meeting berlangsung cukup cepat. Efisien, dan tidak bertele-tele. Kecuali pada sambutan-sambutannya, of course. Sayang sekali tidak bisa berjumpa dengan Aa’ Gym karena beliau sedang ada acara mendadak di Jakarta. Sedianya beliau yang membuka dan memberikan sambutan di acara itu, tapi karena mendadak pergi, jadilah aku tidak bisa berjumpa dengan Aa Gym. Sedih. Sudah jauh-jauh Aa tidak ada....

Pukul setengah dua belas sudah bersiap untuk Jumatan. Para santri pria sudah mulai menghilang satu demi satu. Aku dan sahabatku berjalan ke pelataran depan workshop yang tadinya digunakan untuk parkir dan pedagang kaki lima seperti buku, jilbab, asesoris muslimah, dan of course, makanan. Sekedar cari teh botol Sosro –catet, ya, Sosro! Bukan lainnya – kami duduk di situ.

Pelataran yang tadinya kosong di tengah, sekarang sudah dipenuhi dengan tikar-tikar. Oya, pelataran ini ’semi indoor’. Maksudnya, di atas pelataran ini ada terop yang menaungi tempat ini dari panas dan hujan. Cukup nyaman. Tikar-tikar itu juga dipasang di depan workshop, dan sedikit di belakang kopontren.

Ada beberapa pesawat televisi yang sudah disiapkan. Satu di pelataran PKl tadi, dan satu lagi di dekat workshop dan kopontren. Aku dan sahabatku - suamiku sudah pergi ke masjid DT bersiap-siap mau jumatan - sempat bertanya-tanya. Buat apa televisi itu? Dan apakah pelataran ini akan dipakai jumatan? Kenapa jauh sekali dari masijd? Tapi kami dengan cueknya tetap duduk di bangku kaki lima di pinggiran pelataran itu. Sebab kami lihat para ibu penjual kaki lima itu juga tidak beranjak dari tempatnya, tidak ada tanda-tanda ’kukut’ atau mau ikut jumatan.

Beberapa menit kemudian, satu persatu orang mulai datang. Sholat Tahiyatul Masjid, lalu duduk. Televisi mulai dinyalakan. Tapi para ibu PKl tetap aja disana. Jadi kami juga tetap di sana.
Setelah penuh, khotbah dimulai. Televisi itu ternyata berfungsi sebagai ganti imam. Walau begitu, mereka tetap khusyuk. Benar-benar memanfaatkan teknologi. Sebelum jumatan dimulai, khothib mengingatkan untuk mematikan semua handphone dan alat komunikasi lainnya. Dan itu benar-benar ditaati. Tapi yang terjadi, malah handphoneku yang bunyi!!

DAARUT TAUHID, PESANTREN VIRTUAL

bandung, 17 Sept 2003
A journey!
09.05 WIB

Masuk ke Daarut Tauhid..
Dari awal jalan, hingga masuk ke dalam jalan Geger Kalong Girang banyak sekali papan papan tulisan semboyan dan tempat sampah yang sangat rapi. Bersih itu Iman, Senyum dan Sapa, something like that. Sayang tak sempat aku cermati karena jiwa hati dan pikiran sedang rush to find Daarut Tauhid immediately. Waktu itu apalah artinya papan. Kagum iya, perhatikan isinya tidak terlalu. Yang penting sampai DT dulu.
Belum tahu lokasi, masih cari-cari. Tiba-tiba sang supir menghentikan angkotnya di depan sebuah gedung besar, dan gang masuk yang rapi, dengan banyak sekali orang disana. Daarut Tauhid, A’, katanya. Alhamdulillah, mereka baik sekali. Memberitahu di mana harus turun. Betul kata temanku yang ku-sms tadi, tanya saja, semua orang di Geger Kalong tahu di mana Daarut Tauhid.

Masyaalllah, bisa berdebar-debar rasanya ketika turun dari angkot dan memasuki gerbang DT. Gedung hijau besar di samping gang itu kemudian kutahu adalah Kopontren, Koperasi Pesantren. Berbentuk swalayan. Super Mini Market, sebutannya.
Tidak sempat perhatikan detail, kami segera mencari gedung Daarul Haj, tempat Technical Meeting berlangsung. Sangat dekat, dan ternyata baru mulai.
Alhamdulillah, ternyata Allah melancarkan.

Technical meeting berlangsung seru. Ada acara penjelasan, ada tinjauan ke lokasi. Tadinya kukira lokasi itu di mana, ternyata, ya di Daarut Tauhid itu. Di gedung-gedung yang ada sekarang. Mostly akan dirubuhkan, dan dibangun kembali dengan desain yang baru itu. Masyaallah, sekali lagi. Sebuah keputusan yang berani. Kenapa tidak pindah saja ke lain lokasi? Pertanyaan semua orang.

Jawabannya sederhana. Daarut Tauhid dimulai di sana. Di mana Aa Gym dan rekan-rekannya pertama membangunnya. Mereka menghidupi lingkungan. Mereka membangunnya. Bukan cuma DT, tapi seluruh Geger Kalong. Hidup dengan income yang luar biasa. Dan disyukuri dengan cara yang sederhana tapi sangat essensial.
Mereka sudah punya modal, karenanya mereka ingin pesantren ini menjadi lebih layak untuk digunakan. Sehingga terciptalah kompetisi desain ini.

Bicara kompetisi desain, sudah lewat. Lebih penting cerita perjalanan di DT. Takjub, heran, sempat mencaci, tidak percaya. Kenapa? Karena kukira Daarut Tauhid sangat besar. Kukira banyak sekali asrama, ruangan. Aku besar di kota pesantren. Di Jombang, yang namanya pesantren selalu penuh dengan asrama. Tidak rijik, tidak bersih. Mereka selalu sederhana, sayangnya diaplikasikan dengan keluguan tanpa memperbaiki kualitas. Tapi DT? Masyaallah. Sangat indah. Bersih, rapi. Tidak ada asrama, karena mereka ’virtual’.Kenapa virtual? Karena santrinya di mana-mana. Lewat telpon, internet, sms, pelatihan, seminar, outbond. Aa Gym memberikan dakwahnya lewat contoh perbuatan. Tidak semata lewat ucapan-ucapan yang membahana, seperti ulama-ulama lainnya.

Jadinya, betah disana. Tidak ingin pulang. Tapi satu sisi desakan hati ingin cepat pergi. Karena merasa tidak pantas disana. Belum bersih, belum tulus, belum melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya. Takut ketahuan. Seperti sudah akan dinilai oleh malaikat.
Sesakit itu dihatiku, seperti dihujam pisau. Semuanya tersenyum di sana. Ramah. Tidak ada orang terburu-buru, sabar semuanya. Tersenyum, menawarkan barang dagangan dengan indah. Dibalut bahasa sunda yang sopan, masyaallah, sepertinya kami bertiga yang arek Suroboyo ini kasar sekali.
Malu.

Daarut Tauhid tidak besar. Tidak luas sekali. Cuma sekitar 8000 m2. Untuk sebutan pesantren itu kecil lo. Tidak sampai satu hektar. Atau katakanlah sekitar satu hektar. Coba di Jombang. Pesantren itu bisa berhektar-hektar. Atau kalau dalam perjalanan ke Solo atau Jogja, menuju daerah Kediri, selepas Perak Jombang, menolehlah ke kanan. Ada masjid yang sangat-sangat besar dan megah di tengah sawah. Dekoratif, dan sangat menonjol, dan itu adalah pesantren.

Daarut Tauhid tidak mau menonjol. DT ingin tetap menjadi bagian dari lingkungannya. Berbahagia dengan kehadirannya di kawasan itu. Menghidupi sekian orang yang selalu datang tidak henti. Di hari Sabtu Minggu, DT bisa penuh dengan sekitar 3000 orang. Mobil berderet tak cukup parkirnya. Rumah penduduk jadi asrama pendatang. Mereka dapat uang, mereka bagian dari Daarut Tauhid. Warung-warung kecil di sana, hidup dengan kedatangan para santri itu. Santri Aa Gym. Santrinya DT, dari segala penjuru. Kalau boleh, aku ingin juga disebut santri DT.

Mengayuh Sabar....

Bandung, 17 September 2003
Perjalanan ke Daarut Tauhid
08.45 WIB


Jalan Setiabudi memang panjang. Lagipula mesti cari-cari mau turun di mana. Akhirnya Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI jadi patokan. Setelah tampak papan nama UPI, kami turun di pertigaan itu. Geger Kalong Girang. Yup, bener. Jalan ke DT.

Karena terburu-buru, handphoneku jatuh dari saku. Prak! Clumsy again. Temenku sampai ngomel, bagaimana sih, kok bisa jatuh. Orang lain yang akan naik angkot yang kami turuni tadi, sampai geleng-geleng kepala. Memang, terlalu menuruti keinginan, ingin cepat sampai di tempat. Masih jauhkah, masih lamakah, sementara kurang lima belas menit lagi technical meeting akan dimulai.

Sepertinya memang harus bersabar. Ini ujian buat kami. Buat aku tepatnya. Kepala tim aku, yang tidaksabaran aku juga. Aku harus bisa mengendalikan diri. Seems like you face the last minute decision and it will go to somebody if you are not hurry.

Ternyata Daarut Tauhid masih jauh. Di ujung jalan itu, ada pangkalan angkot ke atas, yang jelasnya pasti lewat DT. Aku berlari, sekali lagi karena tidak sabar, berusaha mengejar angkot yang penuh dan berangkat. Nonsense. Impossible, so we got to stay and wait. Masuklah kami ke angkot yang antri berikutnya. Masih kosong, baru satu yang naik.

Pernah ngetem angkot? Lama sekali. Di Jayabaya aku merasa sangat bete kalau harus masuk ke angkot yang masih kosong melompong. Apalagi ini, ada yang harus dikejar. Satu demi satu orang masuk ke dalam. Tapi masyaallah, rasanya seperti setahun. Aku mengomel pelan, harusnya kita tadi jalan kaki saja. Di peta lokasi DT sepertinya dekat sekali dari pertigaan ini. Suami dan temanku cuma senyam senyum, sabar, sabar kata mereka. Pasti sampai, tenang aja.

Iseng suamiku tanya ke satu perempuan di depan kami. DT masih jauh? Masih, katanya. Ya sudah. Naik angkot saja. Nanti kalo jalan kaki, sudah belum tahu tempatnya, capek, marah-marah, pasti tambah bete. Sabar saja. Itu kata suamiku.

Alhamdulillah, Allah SWT memberiku seorang suami yang penyabar. Karena dia aku bisa menahan diri dan mencari sabar dalam hatiku. Allah selalu memberi apa yang kita minta kalau itu memang patut kita dapatkan.
Dan angkot pun berangkat. Pasti sampai, ke Daarut Tauhid.

angkot di bandung..

still at bandung, 17 september 2003
08.30 WIB
Setelah makan bubur ayam
Kemudian kami bertiga jalan ke perempatan dekat Stasiun Kebun Kawung. Cari angkot yang jurusan Lembang. Hijau katanya. Aku sudah lupa. Lima tahun lalu aku sempat jadi angkot mania di Bandung ini selama sebulan. Tapi sekarang jelas lupa, harus naik apa ke Gegerkalong. Padahal dulu satu minggu aku indekos di Mess Telkom di Geger kalong Hilir.

Then, angkotnya banyak banget. Dan sama semua. Yang namanya angkot warna hijau juga banyak banget. Jadi selain melototin warnanya, aku juga melototin tulisannya. Mana gak bawa kacamata. Memang sejak dulu aku bete dengan angkot Bandung ini. Di Surabaya yang angkotnya full colour gitu aja kita masih suka bingung. Apalagi ini yang warnanya sama. Cicaheum-Dago, Dago-Kebon Klapa, Dago-Stasiun Hall, Stasion Hall-Lembang.. Hijau semua!!!

Akhirnya ketemu juga. Stasion Hall-Lembang. Cuman, sumprit aku lupa harus turun di mana. Satu-satunya pegangan adalah peta jalan Bandung yang aku print dan download dari website Manajemen Qolbu. Diliatin sama orang seangkot. Cuek aja. Yang penting sampai. Tapi aku sms juga temenku yang di Bandung. Siapa tahu ada pedoman khusus untuk sampai ke DT.

Technical Meeting jam sembilan, jam delapan tigapuluh masih di perempatan Stasiun Hall. Tapi aku percaya angkot ini akan mengantarkan kami tepat pada waktunya. Para supir angkot Bandung pasti bikin stress penumpangnya, apalagi yang dari luar kota seperti kami ini. Nyetirnya, ampun. Bikin mual. Ngepot sana ngepot sini. Cepet sampai memang. Tapi kalo habis naik kereta api dan makan begini, yah, nggak janji kalo gak mual berat.

Satu kelebihan angkot di sini. Nggak bakalan di tumpuk sampai kaya dendeng seperti di Surabaya. Angkotnya lebih luas, lebih lebar, dan penumpang diisi pas dengan kapasitasnya. Di Surabaya? Dijamin kalo pantat dapat secuil tempat duduk aja sudah syukur alhamdulillah. Pantas orang Surabaya suka ngumpat-ngumpat. Karena masih ditambah dengan udara yang panas di Surabaya, dijejal-jejal pula.
Di Bandung, udaranya nyaman, tidak dihembusi bau keringat teman sejawat di dalam angkot. Ramah-ramah pula orangnya. Tapi cuma satu, nyetirnya itu lo. Dan sepanjang perjalanan, tidak ada satu orang polisi pun di jalan. Cuek bebek. Padahal masih manis-manis cara nyetir para supir angkot di Surabaya, polisi sudah bertebaran di mana-mana. Suamiku berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan mau nyetir mobil sendiri di Bandung. Pasti bakalan stress berat, katanya.

Perempatan pertama, belok ke Jalan Merdeka, sepertinya. Sudah lupa jalan apa. Yang jelas terus lurus masuk Jalan Setiabudi dan terus sampai di daerah Gegerkalong.
Perempatan ini yang asik. Begitu angkot berhenti di depan lampu merah, segerombolan anak pengamen mendekati pintu penumpang. Tiga orang sih. Satu bawa kendang kecil yang diikatkan di pinggangnya, satu bawa kerincingan (apa namanya, lupa). Dan satu lagi, of course, gitar akustik standar. Satu dua tiga. Lagu Sakura yang dipopulerkan Fariz berkumandang. Masyaallah, enak banget. Betah ndengerinnya. Nada-nadanya pas, tidak ada yang sumbang. Ketukannya tepat, ritmenya juga pas. Suaranya, boleh juga. Nggak fals, nggak sember. Gilig. Means suaranya wungkul, penuh, dan bulat. Kaya sudah pernah latihan vokal aja.

Lagunya keren, bawainnya pas. Nggak rugi kita kasih uang sama mereka. Lima ratus pun aku masih mau. Coba di Surabaya. Kencring, kencring. Gak jelas nyanyi apa. Suara bergumam, alat musik gak jelas. Okelah ada yang dibina seperti musik alang-alang itu. Tapi sehari-harinya, kita lewat di mana saja, di jalanan yang kita lihat adalah anak seperti itu. Kumal, tidak terurus, dan berusaha cari uang dengan jalan seadanya. Ngamen, yang penting gak ngemis. Mungkin begitu prinsipnya.

Tapi mari kita bandingkan. Di Bandung, mengamen menjadi suatu tantangan yang mengasikkan. Mereka berusaha untuk tidak sekedar menyanyi, dan mendapatkan uang. Tapi adalah bagaimana mereka memuaskan pendengarnya. Bahwa mengamen itu menjadi suatu seni. Puas orang yang memberi mereka uang. Perjalanan yang terhenti di lampu merah pun tidak menjadi membosankan dengan kehadiran mereka. Biarpun di angkot yang notabene angkutan murah meriah kita masih bisa mendapatkan hiburan ’sekelas cafe’.

Di Surabaya, begitu berhenti di perempatan, serbuan datang. Pengamen dengan kencrang-kencring gak jelas, penjual gambar, penjual krupuk, penjual koran. So many people. Kemudian, setelah kita memberi uang pada pengamen, apakah kita akan membeli krupuk? Bila kita membeli krupuk, apakah kita akan membeli koran? Misalnya kebutuhan kita adalah koran hari ini, apakah kita akan memberi uang pada si pengamen kemudian? Jarang sekali terjadi pemberian seperti itu. Otomatis, tangan kita akan mengatakan tidak pada yang lain ketika satu pilihan sudah terambil. Jadi, para pengamen Surabaya tidak hanya bersaing antar pengamen, tapi juga bersaing dengan pedagang asongan yang lain. Di samping itu, nilai jual pengamen disini, akan lebih rendah dari pada pedagang asongan yang lain. Karena dengan memberi uang ke pedagang asongan kita mendapat barang, tetapi memberi uang ke pengamen kita mendapatkan gumaman tidak jelas, dan keselamatan mobil bila tidak digores. Mungkin yang terakhir kebanyakan menjadi pilihan penumpang atau pengendara di Surabaya.

Selama di Bandung, angkot yang aku tumpangi selalu didatangi musik. Lagu-lagunya enak, ramai, dan yang jelas selalu membuat kita dengan suka hati memberi. Jadi betah naik angkot. Sampai-sampai sudah sampai tujuan jadi kelewatan.

bubur ayam..

MASIH DI BANDUNG, 17 SEPTEMBER 2003
08.00 WIB

Setelah cuci muka dan sedikit berbedak, aku, dan my two best pal menuju keluar stasiun. Lapar sih. Kalau kemudian kita ngiler melihat penjual bubur ayam nongkrong di depat pintu utara stasiun, jangan salahkan dong. Bubur ayam Bandung. Got to be tried!!

Bubur panas, kuah coklat yang asinnya pas banget, potongan ayam, kedelai, telor rebus, dan asin-asin apa tuh yang enak banget. Lupa namanya. Plus free teh anget tawar khas Jawa Barat. Krupuknya? Wow, semangkok sendiri. Aku sampai heran-heran kok temenku gak abis, katanya makan krupuk itu ngerepoti. Walah, tumon iki. Jan-jane makan krupuk itu kan accompany yang very very appropriate for every menus. Yo tho? Wong ya enak.

Dan ternyata, jan, uenak tenan. Kenapa tidak ada bubur ayam seenak ini di Surabaya? Toh, banyak barang, tas, sepatu misalnya, yang diimport dari Jakarta atau Bandung. Kenapa bubur ayam ini tidak? Sempat berpikir untuk bisnis bubur ayam, Nongkrong di depan Lapangan Koni Kertajaya tiap pagi untuk jual bubur ayam. Bisnis lagi. Kenapa gak bisa? Pasti bisa kalau mau. Ya itu tadi masalahnya, mengalahkan diri sendiri. Males nggak sih bangun pagi-pagi menyiapkan semua itu untuk berjualan? Malu nggak sih nongkrong tiap pagi di sana?

Sebenarnya buat apa malu. Itu adalah pekerjaan halal. Perduli amat kata orang. Mungkin karena aku start dari sebuah kota kecil, dimana setiap orang tahu apa yang orang lain lakukan. Jadi setiap perbuatan adalah dinilai dengan nilai sosial, pantas tidaknya . Atau lebih-lebih lagi di’judgement’ dengan apa kata orang nanti..?
Selalu begitu. Orang lain jadi musuh. Atau lebih tepatnya diri sendiri yang jadi musuh. Bagaimana kita mengalahkan diri sendiri untuk tidak memperdulikan apa kata orang lain, harusnya begitu.

Tidak terasa habis ngelamun habis pula bubur ayamnya. Enak, atau karena lapar. Ingin nambah tapi kok maruk. Aku bertekad dalam hati besok sebelum pulang harus nongkrong disini lagi. Absolutely only for this bubur ayam!!

sebuah catatan perjalanan

JUMAT, 17 SEPTEMBER 2003
STASIUN KEBON KAWUNG, 07.30 WIB

Hari masih pagi, saat aku datang di Stasiun Kebun Kawung, Bandung. Bersama suami tercinta dan seorang sahabat karib. Tujuan kami hanya satu, mengunjungi Pesantren Daarut Tauhid di Gegerkalong, Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. What it would be like..

Malam tadi aku berberat hati meninggalkan Surabaya dan anakku tercinta, untuk perjalanan ini. Ada sebuah tantangan yang menunggu, panggilan dari hatiku untuk mengikuti kompetisi ini. Aku tahu, mungkin hanya 1 perseribu kemungkinan untuk menang. Siapa aku? Seorang sarjana teknik lulusan arsitektur, yang hampir 3 tahun tidak pernah lagi menggambar serius sebagai seorang arsitek. Berani-beraninya ikut kompetisi desain masjid, di Daarut Tauhid pula. Untuk seorang Aa Gym. So so brave. Atau nekad, pastinya.

Yang jelas, aku memang mau mencoba kemampuanku. Apakah masih bisa aku mengalahkan diri sendiri, dan bisa menyelesaikan tugas ini. Sudah lama aku tidak tertantang seperti ini. Arogan? Maybe.
Demi itu pula aku rela gak masuk kantor untuk mengikuti technical meeting di Bandung ini. Sorry friends, but I have to. For a guts that I need, for a challenge that I never have for these three years. Life is begin now, with challenge.